Sumber: winnetnews.com
UNESCO menandai 23 April sebagai peringatan Hari Buku Sedunia atau World Book Day. Retrospeksi dari peringatan yang ditandai di lebih dari 100 negara di dunia ini, awal pertama kali diadakan untuk mengapresiasi mahakarya penulis kenamaan sekaligus berpengaruh. Nama-nama ini di antaranya William Shakespeare, William Wordsworth, David Halberstam, Miguel del Cervantes, dan Inca Garcilaso de la Vega, yang meninggal pada 23 April. Seiring berjalannya waktu, Hari Buku Sedunia turut diperingati sebagai wujud kepedulian berkaitan dengan minat dan pentingnya membaca bagi masyarakat dunia.
Diskursus tentang buku dan aktivitas membaca sendiri adalah hal yang sebenarnya absolut atau familier dilakukan oleh setiap orang. Masing-masing dari kita sudah diperkenalkan ketika masih kecil tentang sifat magis dari sebuah buku. Misalnya saja tentang bagaimana buku menjadi representasi dari jendela dunia yang disampaikan secara repetitif kepada kita. Lalu, buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang setiap hari dikerjakan semasa sekolah, atau aktivitas meminjam buku komik pada setiap minggunya.
Bahkan jauh sebelum itu, bagaimana orang tua membacakan dongeng sebelum tidur dengan putri yang bertemu pangeran berkuda putih di bagian ending. Kita semua pernah hadir dalam ruang-ruang baca itu, yang kemudian berfusi menjadi satu dalam wujud budaya membaca. Sayangnya, berada di tengah-tengah dunia yang semakin hiruk, budaya membaca ini luntur di tengah jalan. Membaca tidak menjadi aktivitas yang menarik lagi.
Oleh karena itu, bila kembali pada esensi peringatan Hari Buku Sedunia, di mana untuk mengingat pentingnya kehadiran buku dalam kehidupan manusia di dunia, pertanyaan selanjutnya muncul. Apakah kita sudah menyadari esensi ini? Ada berapa buku yang sudah kita baca sejauh ini?
Indonesia dan Kemajuan Teknologi
Sumber: saturadar.com
Kita patut berbangga bahwa Indonesia merupakan negara yang amat terdampak dengan arus globalisasi. Lebih jauh, Indonesia mampu mengikuti perkembangan ini. Gaya hidup jadi berubah semakin mutakhir. Tak terkecuali, apa pun itu yang berkaitan dengan buku. Misalnya, kehadiran e-book yang membawa pengaruh signifikan dan pada akhirnya mendobrak stigma buku. Tidak ada lagi dalih membawa tas yang berat berisi buku sebab ratusan lembar halaman sebuah buku dapat dikonversi ke dalam telepon genggam. Ongkos dan waktu produksi cetak, tak diragukan lagi dapat dipangkas sebab kehadiran e-book mengubah ini.
Konversi toko offline ke toko online adalah buah dari kemajuan teknologi lainnya. NielsenIQ mencatat jumlah konsumen belanja online di Indonesia yang menggunakan e-commerce mencapai 32 juta orang pada 2021. Jumlah ini melesat 88% dibandingkan pada tahun sebelumnya. Dahulu, untuk dapat meminjam satu buah buku saja, kita perlu berkunjung ke perpustakaan. Itu pun hanya bisa kita lakukan di akhir pekan. Belum lagi keharusan untuk mengurus keanggotan terlebih dahulu. Sementara di era digital, aktivitas tersebut kini dapat dilakukan dengan mudah hanya dalam sekali duduk. Begitu juga dengan membeli buku.
Artinya, kemudahan-kemudahan ini juga merupakan hal yang absolut yang dapat memudahkan kita untuk dalam aktivitas membaca. Namun, apakah benar demikian?
Perihal Realitas Baca Masyarakat Indonesia
Sumber: liputan6.com
OECD atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi merupakan sebuah organisasi internasional yang menghimpun beberapa negara dalam bidang demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Organisasi ini pernah membantu upaya rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II.
Yang artinya, dinamika gerak mereka adalah meneliti bagaimana ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara dapat berkembang karena suatu faktor. Pada tahun 2019 belakang, organisasi tersebut menjalankan survei berkaitan dengan tingkat literasi negara-negara di dunia. Hasilnya, tingkat literasi Indonesia berada pada peringkat rendah, yakni 62 dari 70 negara.
Tak tanggung-tanggung bila dibandingkan, rasio antara jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia berada pada angka 0.09. Artinya, satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahunnya. Jumlah ini masih tidak memenuhi standar UNESCO, yakni minimal 3 buku baru untuk setiap orang setiap tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki tingkat rendah dalam indeks kegemaran membaca.
Dengan demikian, bila kembali menitikberatkan esensi dari Hari Buku Sedunia, di mana untuk mengingat pentingnya membaca, momentum ini merupakan tepat sasaran. Indonesia punya PR yang besar dalam meningkatkan minat baca masyarakatnya. Mengingat paparan sebelumnya mengenai gempuran globalisasi dan digitalisasi yang memudahkan kita untuk mengakses buku, sudah seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik, bukan malah meninggalkan buku.
Lingkungan dan Kekuasaan Mutlak yang Dimilikinya
Sumber: independent.co.uk
Kebiasaan merupakan sesuatu yang biasa dikerjakan dan akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Semakin lama waktu dan durasi mengerjakan sesuatu tersebut, semakin kebiasaan tersebut dengan mudah terbentuk. Bicara mengenai aktivitas membaca, tak bisa dilepaskan dari kebiasaan. Kebiasaan membaca akan dengan mudah ada pada diri seseorang bila diterapkan sedari kecil atau ketika masa kanak-kanak. Orang yang paling berpengaruh dalam hal ini tentunya adalah orang tua.
Sayangnya dilangsir dari edukasi.kompas.com, orang tua kurang menyadari bahwa membaca sejak dini itu penting dan lebih menganggap bahwa masa kanak-kanak dihabiskan untuk bermain. Artinya, kebiasaan membaca ini tidak dipupuk sejak dini oleh orang tua. Padahal, anak-anak punya stimulus yang baik untuk melakukan hal-hal baru, seperti membaca. Apabila aktivitas membaca ini dibiasakan semenjak dini, anak akan tumbuh menjadi sosok yang gemar membaca.
Kebiasaan yang dibangun dari dalam rumah ini kemudian dilanjutkan ketika anak berada di sekolah. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini, tentu perlu melihat kembali sejauh mana sekolah mampu mendukung kebiasaan membaca. Apakah sajian buku yang digantung di rak buku perpustakaan sudah beragam, apakah tersedia ekstrakurikuler klub baca, porsi penggunaan buku tekstual dengan elektronik sudah sesuai, dan masih banyak lagi.
Sampai di sini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa lingkungan mengambil peranan penting dalam membangun kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan tersebut hanya dibangun di lingkungan sekolah, kebiasaan tidak akan dengan mudah terbentuk. Begitu pula bila kebiasaan hanya dibangun di lingkungan keluarga.
Hari Buku Sedunia adalah momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali, sejauh mana kita menggemari aktivitas membaca. Bila kita semua sepakat bahwa buku adalah jendela dunia, sementara tingkat minat baca kita masih rendah, dari mana kita bisa melihat dunia itu sendiri?