Sosok Kartini direfleksikan sebagai representasi perjuangan perempuan Indonesia dalam mengangkat harkat dan martabatnya. Dalam sejarahnya sendiri, kita tahu bahwa Kartini tertarik pada topik emansipasi perempuan. Setelah mengetahui kemajuan cara berpikir perempuan Eropa, Kartini kemudian bertekad untuk menjadikan perempuan-perempuan Indonesia juga memiliki cara berpikir yang maju. Dari sini, Kartini juga mendapat julukan sebagai pelopor kebangkitan perempuan.
Berbicara mengenai Kartini maka tak lepas dari karyanya yang berjudul Habislah Gelap Terbitlah Terang yang dalam bahasa Belandanya, yaitu Door Duisternis tot Licht dengan arti harfiahnya kegelapan menuju cahaya. Tentu dalam sebuah karya atau buku pasti memiliki kisah proses pembuatannya sendiri. Buku ini berisi kumpulan surat yang ditulis Kartini kepada teman-temannya di Eropa, yang kemudian dibukukan oleh J.H. Abendanon. Saat itu, Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Sumber: kabar24.bisnis.com
Buku yang diterbitkan pertama kali pada 1911 ini berisi 87 surat yang ditulis Kartini menggunakan bahasa Belanda. Surat-surat tersebut juga pernah diterjemahkan dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Pada cetakan kelimanya, terdapat tambahan surat yang juga ditulis oleh Kartini.
Lahirnya buku ini dapat membantu kita untuk mengetahui kehidupan perempuan zaman dahulu. Dengan begitu, kita bisa tahu apa saja yang telah berubah dari perempuan masa Kartini dengan perempuan masa sekarang.
Polemik Adat Pingitan Zaman Dahulu
Dalam buku Habislah Gelap Terbitlah Terang diceritakan bahwa keluarga Kartini memegang teguh adat, termasuk adat memingit, meski sebenarnya keluarga Kartini termasuk keluarga termaju di Pulau Jawa. Kartini telah mengalami masa dipingit saat menginjak usia 12 tahun. Empat tahun lamanya Kartini tidak diizinkan untuk keluar rumah tanpa tujuan yang disetujui oleh keluarganya.
Sahabat-sahabat Kartini kemudian mencoba untuk menyelamatkan Kartini agar bisa bebas kembali. Mereka tidak henti mencoba agar Kartini bisa memperoleh kemerdekaannya. Hingga akhirnya pada umur 16 tahun (1895), Kartini mendapat izin untuk melihat dunia luar lagi. Meski sempat dipingit lagi, tetapi Kartini berhasil diperbolehkan untuk keluar, bahkan hingga ikut bepergian ke luar tempat tinggalnya.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia, khususnya Jawa, berbeda dengan anak bangsa Eropa pada waktu itu. Kartini pun merasa bahwa perempuan Indonesia memiliki sifat yang penurut. Ia juga beranggapan bahwa tujuan hidup perempuan Indonesia itu hanya satu, yaitu menikah dengan orang yang tidak dikenali.
Adapun adat memingit perempuan ini masih terjadi hingga sekarang, salah satunya adalah tradisi pingitan. Adat Jawa satu ini biasanya dilakukan oleh mempelai pengantin menjelang hari pernikahannya. Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Kartini, dalam tradisi pingitan di Jawa mengharuskan calon mempelai perempuan tidak bertemu dengan calon mempelai laki-laki. Calon mempelai perempuan ini “dikurung” di rumah agar tidak keluar dari rumah.
Meski tradisi ini masih ada hingga sekarang, tetapi kurun waktu pelaksanaan pingitan kini berbeda dengan zaman dahulu. Pingitan pada zaman dahulu menghabiskan waktu satu hingga dua bulan lamanya. Tentu para wanita yang dipingit merasa bosan. Beruntungnya, karena emansipasi sudah berjalan dan banyak perempuan Indonesia yang kini memiliki pekerjaan maka waktu pingitan pun menjadi lebih pendek.
Betapa sulit jika seorang perempuan yang memiliki posisi penting dalam pekerjaannya kemudian ketika akan menikah ia harus dipingit. Oleh karena itu, Lia (2016) dalam sebuah penelitiannya tentang pingitan mengatakan bahwa pingitan merupakan budaya kuno, budaya orang zaman dahulu yang sudah tidak cocok dilakukan lagi. Hal ini karena perubahan terjadi pada perempuan sekarang, mulai dari gaya hidup hingga pekerjaan yang didapatkan. Tradisi pingitan pun tidak menutup kemungkinan akan menghilang perlahan, tergerus oleh perkembangan zaman.
Sumber: lifestyle.okezone.com
Perkembangan Teknologi Memudahkan Belajar
Salah satu hal penting yang menjadi titik awal perubahan kehidupan perempuan yang berdampak pada kemajuan masyarakat luas adalah pendidikan. Dengan adanya pendidikan maka wawasan dan pengetahuan bisa bertambah sehingga kualitas diri seorang perempuan dapat meningkat. Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada perempuan zaman Kartini.
Salah satu surat dalam buku Habislah Gelap Terbitlah Terang yang ditulis oleh Kartini untuk temannya di Eropa, Zeehandelaar, berisi bahwa perempuan zaman dahulu tidak diperbolehkan untuk belajar banyak bahasa, seperti Prancis, Inggris, dan Jerman. Bahkan jika mengetahui sedang belajar bahasa Belanda saja sudah dianggap melampaui batas. Kartini mengatakan kalau keinginannya untuk belajar bahasa asing tak lain adalah agar bisa membaca pemikiran penulis-penulis bangsa asing tersebut.
Dalam suatu surat yang lain, Kartini juga menulis kepada sahabatnya kalau saja ia mahir berbahasa Belanda, ia percaya akan bisa menjadi orang yang bebas. Ia juga percaya akan mendapatkan pekerjaan yang bagus suatu hari nanti. Namun, semua itu sebatas angan yang sulit bahkan mustahil untuk dicapai.
Berbeda dengan situasi saat ini, kita sudah tidak lagi dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Dengan adanya perkembangan teknologi, semua orang sudah bisa belajar banyak bahasa. Kini, kita semua bahkan bisa belajar bahasa negara atau daerah mana pun yang ada di dunia. Bahkan kita bisa dengan mudah belajar langsung dengan native speaker dari bahasa yang ingin kita pelajari. Selain itu, dengan perkembangan teknologi saat ini kita juga bisa belajar banyak hal lain untuk bisa lebih mengembangkan diri.
Teknologi yang semula dianggap hanya untuk laki-laki, kini sudah tidak berlaku lagi. Tak melulu laki-laki saja yang diperbolehkan untuk belajar dan menggeluti dunia teknologi, perempuan juga memiliki hak dan kebebasan untuk belajar teknologi. Lestari (2010) dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa peran perempuan dalam dunia ketenagakerjaan teknologi informasi saat ini lebih mendominasi di bidang administrasi. Itu artinya, bidang teknologi yang semula dicap cocok untuk kalangan laki-laki saja, kini sudah hilang.
Apa yang tertulis dalam buku Habislah Gelap Terbitlah Terang dapat menjadi refleksi bagi perempuan masa kini untuk menggapai kemerdekaan dan mengambil peran serta eksistensinya di Indonesia maupun di dunia. Perlu diketahui, bahwa gagasan-gagasan yang dicurahkan Kartini melalui surat pada buku itulah yang menjadi cikal bakal Kartini untuk mewujudkan emansipasi.
Kini, impian-impiannya itu perlahan bisa terwujud. Tidak sedikit perempuan Indonesia yang berhasil menunjukkan peran dan eksistensinya dalam segala aspek kehidupan. Tentu untuk mencapai kesuksesan tersebut dibuktikan dengan memerangi ketidakadilan pada perempuan (pernikahan paksa), kebodohan, dan memerangi kemiskinan. Meski jauh dari kata “merata”, tetapi para perempuan saat ini mampu bergerak dan merobohkan tembok-tembok yang memenjarakan perempuan agar bisa lebih merdeka serta berdaya sepenuhnya.