Sumber: correspondent.afp.com
Siapa sih yang enggak kenal dengan istilah literasi? Istilah yang sering sekali kita dengar dan kita gaungkan. Apalagi kini di negara kita, literasi menjadi salah satu kegiatan wajib pada setiap sekolah yang diwadahi oleh Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Adanya GLS ini bukan tanpa alasan, loh! Pastinya dengan adanya gerakan ini pemerintah Indonesia berharap para siswa lebih mencintai budaya literasi ini.
Ngomong-ngomong soal budaya literasi, ada satu negara yang menduduki posisi terbawah budaya literasi di dunia, loh!
Negara mana itu? Apakah Indonesia?
Syukurlah bukan negara kita tercinta ini, tapi ternyata Sudan Selatan-lah negara pemilik budaya literasi terendah di dunia.
Kok bisa?
Mudah saja jawabannya. Sudan Selatan adalah negara yang baru saja merdeka pada tahun 2011. Dengan begitu, Sudan Selatan ini dinobatkan sebagai pemilik usia negara termuda di dunia. Nah, lumrahnya usia yang masih muda akan mempermudah diri untuk belajar karena pikiran yang masih fresh. Namun, ini tidak berlaku untuk sebuah negara, khususnya Sudan Selatan. Dengan demikian, menurut data Institut Statistic (UIS) UNESCO pada November 2019, negara ini masuk ke dalam daftar paling akhir negara yang memiliki tingkat literasi rendah di dunia.
Pasti kamu mau tahu sebabnya, ‘kan? Simak fakta-faktanya, yuk!
Termasuk Negara Termiskin di Dunia
Salah satu negara di Benua Afrika ini menjadi negara termiskin di dunia karena sampai akhir tahun 2019 lalu diketahui bahwa negara ini memiliki PDB per kapita terendah di dunia, yakni $243. Ini berdasarkan laporan dari International Monetary Fund World Economic Outlook. Coba deh kamu bayangin kalau ekonomi suatu negara rendah, sudah pasti penduduknya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Makan jadi susah, apalagi untuk biaya sekolah. Kamu pasti juga sudah tahu kalau untuk mengenyam pendidikan harus merogoh kocek sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan, pendidikan yang dibilang “gratis” saja juga tidak benar-benar gratis, ‘kan? Penyelenggara pendidikan pasti butuh biaya untuk memfasilitasi pendidikan yang gratis itu. Nah, dengan kondisi yang dialami Sudan Selatan saat ini maka kamu pasti bisa membayangkan betapa sulitnya menyejahterakan budaya literasi di sana.
Terdampak Perang Saudara
Negara yang masih muda belia ini lahir sebab adanya perang saudara yang sudah terjadi selama 50 tahun sejak 1959. Dampaknya pun merembet pada bidang pendidikan. Pada masa itu, hanya sekitar 30% dari 1,06 juta jiwa siswa yang memenuhi syarat untuk bisa masuk sekolah. Sisanya? Ya harus rela putus sekolah. Selain itu, fasilitas pendidikan dan kesehatan juga musnah karena telah dibakar dan ditutup sehingga masyarakat di sana tertutup aksesnya untuk menambah wawasan. Hal ini yang semakin memperburuk tingkat literasi Sudan Selatan.
Keterbatasan Bahasa
Sudan Selatan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Namun kenyataannya, sebagian besar anak-anak hanya diajarkan bahasa Arab karena masih terbawa dari negara saudaranya, Sudan. Tidak hanya itu, negara ini juga masih kekurangan guru bahasa Inggris dan guru berbahasa Inggris pada bidang ilmiah serta teknis. Nah, bagaimana suatu negara bisa berkembang jika bahasa yang dipakai masyarakatnya saja bukan bahasa nasional? Ya sudah pasti semua akan serba terbatas. Dari segi huruf saja keduanya sudah berbeda sehingga pasti akan kesulitan untuk melakukan literasi dengan bahasa yang bukan menjadi bahasa sehari-hari. Jika masyarakat di sana sudah terbiasa dengan bahasa Arab, ketika mereka harus mulai membaca, memahami ilmu baru, bahkan menulis buku dengan bahasa Inggris pasti akan sangat kesulitan. Bukan tidak mungkin, jika hal ini terus terjadi maka bahasa Inggris akan pupus juga di sana.
Wah, miris juga ya keadaan di sana? Itulah alasan mengapa Sudan Selatan menjadi negara dengan tingkat literasi terendah. Kita sebagai masyarakat Indonesia dapat belajar dari negara Sudan Selatan untuk memperbaiki budaya literasi negara kita. Mari mulai dari kebiasaan menulis buku. Ingatlah bahwa literasi dilakukan saat ada bahan bacaan. Dengan menulis buku maka itu berarti kita memberikan sumbangan bacaan untuk orang lain. Selain itu, kebiasaan baik tersebut dapat mengantar kita menjadi ghostwriter yang dapat memberikan jasa penulisan buku. Jadi, jangan sampai padam semangat literasinya, ya!